Oleh: George Junus Aditjondro*
|
Ilustrasi |
ADAKAH seni meludah? Ada, apabila yang diludahkan adalah cairan hasil
kunyahan pinang muda (Areca catechu), kembang sirih dan kapur hasil
pembakaran kerang. Selain itu, tidak sembarang orang dapat menguasai
seni meludah cairan pinang dan teman-temannya itu. Sang peludah harus
cukup akrab mengunyah pinang, dan tidak teler setelah mengunyah sebiji
pinang muda dan kawan-kawannya. Kalau tidak, mana cukup ludah pinangnya
untuk menghiasi selembar kanvas? Apalagi ludahan pertama, kedua, ketiga,
dan keempat dari sebiji pinang semakin berkurang kepekatan dan warna
merahnya.
Tapi itupun belum cukup untuk menjadi pelukis ludah pinang. Para pekerja
seni ini harus punya dorongan emosional, untuk mengunyah pinang
sebanyak mungkin, untuk mengisi selembar kanvas, atau selembar kulit
kayu, medium lukisan orang Sentani. Para pekerja seni ini bagusnya
didorong oleh kemarahan untuk meludahkan isi hati bersama isi mulut
mereka, ke atas kanvas atau kulit kayu. Semua itu ada di Tanah Papua,
baik di provinsi Papua maupun Papua Barat, karena para pengunyah pinang
di pulau kasuari di mana-mana selalu diingatkan oleh papan peringatan di
dinding tempat-tempat umum, yang berbunyi: “DILARANG MELUDAH PINANG DI
SINI!”
Memang, ada stigma jorok terhadap para pengunyah pinang di Tanah Papua.
Bersama stigma jorok itu adalah stigma budaya terbelakang, sebab di
banyak daerah di Nusantara, tinggal orang tua dan orang desa saja yang
masih mengunyah pinang. Sementara orang muda dan orang kota, sudah
beralih ke rokok.
Genre baru seni lukis ini dipamerkan selama lima hari oleh Bengkel
Pembelajaran Antara Rakyat (Belantara) Papua di Rumah Budaya Tembi di
Sewon, Bantul, Yogyakarta, awal Agustus lalu. Waktu pameran dibuka,
penonton dapat menyaksikan sendiri, proses melukis, atau tepatnya,
proses meludah di atas kanvas besar oleh dua orang pelukis Papua
(Wilhelmus Kalami dan Josua Kristian Binur) dan tiga orang pelukis Yogya
(Wardi Bajang, Enjun J.A., Tri Suharyanto Kotrek). Selanjutnya, para
pengunjung pameran diajak melihat hasil karya perupa-perupa anggota
Belantara Papua, yakni Wilhelmus Kalami, Josua Kristian Binur, Musa,
Yesaya Mayor, Lanjar Jiwo, Frans Kacili, Metu Dimara. Ada juga karya
kolektif dari beberapa sanggar di Sorong dan Raja Ampat, yakni Koranu
Fyak, Warimak, dan Waifoi. Lalu, buat yang masih penasaran, Wilhelmus
Kalami dan Lanjar Jiwo menyelenggarakan workshop sehari.
Ternyata, cara melukis dengan ludah pinang ini, tidak gampang, karena
pertama harus mengunyah-ngunyah pinang, kapur, dan sirih cukup banyak
dan cukup lama, supaya ludahnya bisa pekat dan berwarna merah tua. Kalau
tidak, ludahnya sangat cair, dan warnanya coklat muda
kekuning-kuningan. Selanjutnya, cairan itu harus segera diusap-usap
dengan tangan, membentuk apa yang ada di bayangan sang pelukis.
Paling mudah, menggunakan tangan sebagai “cetakan”, sehingga terbentuk
gambar tangan di kanvas, menyerupai lukisan-lukisan manusia gua ribuan
tahun lalu. Lihat saja di gua-gua di Pulau Misool dan Teluk Mayalibit di
Distrik Warsamdin, di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, masih dapat
ditemukan lukisan-lukisan “cap tangan” yang terbentuk dari tangan-tangan
manusia yang diludahi suatu cairan. Belum diketahui, cairan apa yang
digunakan manusia gua dari Raja Ampat, ribuan tahun lalu. Namun penduduk
setempat percaya, nenek moyang mereka sudah menggunakan ludah pinang.
Yang jelas, gaya lukisan begini, yang dalam literatur Melanesia dikenal
dengan istilah gaya “stensil tangan”, merupakan bukti penyebaran nenek
moyang rumpun Melanesia, yang bermigrasi entah dari mana, tapi
meninggalkan lukisan-lukisan mereka dari gua Leang-leang di Kecamatan
Bantimurung di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan sampai ke gua Yalo di
Pulau Malakula di Kepulauan Vanuatu di kawasan Melanesia, yang terkenal
dengan lukisan stensil sepasang tangan. Sementara cabang rumpun yang
lain yang menurunkan orang Aborijin, meninggalkan lukisan gua di
Pegunungan Kimberley di Australia Barat Laut, di mana bukan lukisan
stensil tangan yang menonjol, tapi lukisan bergaya Wanjina. Itulah
mahluk-mahluk pelindung mereka, yang punya mata dan telinga, tapi tanpa
mulut. Mirip mahluk-mahluk antariksa yang sering kita lihat di film-film
science fiction.
Diilhami lukisan “stensil tangan” bertangga-tangga di gua-gua Misol dan
Teluk Mayalibit, serta didorong larangan meludah pinang yang tertempel
di semua tempat umum, beberapa orang pekerja seni di Sorong mulai
menjajaki kemungkinan mengalihkan kebiasaan meludah pinang menjadi
ekspresi seni. Itulah hasil interaksi pekerja seni dari Yogya, Lanjar
Jiwo, yang sudah berbulan-bulan bercokol di Sorong, dengan Jesaya Mayor,
seorang perupa berdarah Biak-Betew (turunan diaspora Biak di Kepulauan
Raja Ampat). Anggota Sanggar Seni Budaya Koranu Fyak ini sudah berhasil
menggunakan teknik melukis ini pada kulit kayu, kertas, dan daun lontar.
Ide ini cepat mendapat tanggapan dari para pekerja seni setempat,
apalagi mengingat susahnya memperoleh kanvas dan cat di kota Sorong
maupun di Pulau-Pulau Raja Ampat. Setelah sukses mengembangkan teknik
seni lukis ini di kalangan masyarakat pesisir, Lanjar Jiwo dan Jesaya
Mayor mengembangkannya ke masyarakat Maybrat di Pegunungan Tamrau.
Walhasil, seniman-seniman Maybrat mengoleskan ludah pinang pada
patung-patung karwar hasil ukiran mereka. Patung-patung kayu ini
menggambarkan leluhur mereka.
Kembali ke seni lukis ludah pinang, ada yang melakukan modifikasi, yakni
campuran pinang, kapur, dan sirih tidak dikunyah, tapi ditumbuk dalam
lesung kecil dan dicampur air, sehingga bisa dipoleskan dengan kwas,
seperti cat biasa. Namun baik bagi yang lebih mahir meludah, maupun yang
meramu campuran yang ditumbuk dengan air, teknik “stensil” tetap yang
paling digemari, dengan tidak hanya menggunakan tangan sang pelukis
sebagai ‘sablon’, tapi juga daun-daunan.
Baru setelah sejumlah sanggar di kota Sorong dan di kepulauan Raja Ampat
telah mengadopsi seni lukis ludah pinang itu, Belantara Papua, yang
didirikan 5 Agustus 2004 di kota Sorong, berusaha memamerkan hasil karya
mereka di Jawa. Ornop ini, memang berisikan tokoh-tokoh seniman dan
pekerja seni, yang sudah lama bergiat dalam pengembangan berbagai cabang
seni di Tanah Papua. Dua orang perintis Belantara Papua, Abner Korwa
dan Max Binur, adalah mantan anggota kelompok seni-budaya Mambesak di
kampus Universitas Cenderawasih di Abepura, dekat Jayapura. Setelah
hijrah ke Sorong, dua orang pekerja seni dari Jawa bergabung dengan
mereka, yakni Danar Wulandari, staf peneliti Insist (Yogyakarta) yang
kemudian jatuh cinta dan menikah dengan Max Binur, serta Erawati, mantan
aktivis Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, yang kini sudah
meninggalkan Tanah Papua.
Dengan demikian, Belantara Papua semakin setia pada namanya, yakni
Bengkel Pembelajaran Antara Rakyat, dalam hal ini, rakyat Papua dan
rakyat Jawa. Selain belajar makan pinang, para seniman Yogya juga
belajar meludah secara artistik, bersama-sama sahabat merangkap
guru-guru mereka dari Papua.
*
Penulis adalah dosen tamu Program
Studi Ilmu, Religi dan Budaya di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta,
pencinta seni lukis, dan peneliti kebudayaan Melanesia.
0 Response to "SENI MELUDAH DI TANAH PAPUA"
Posting Komentar