Mengenal Sayur Lilin, yang Ditanam Orang Papua 8.000 Tahun Lalu

Warga memegang sayur lilin


TEMPO.CO, Jakarta - Antara Papua dan Eropa terbentang jarak puluhan ribu kilometer. Tapi ada satu hal yang menyamakan warga Eropa dan Papua: keduanya menyukai asparagus. Bahkan asparagus jadi makanan mewah di Eropa pada masa lalu. 

Kini, asparagus mudah ditemui -- tapi masih menjadi makanan kelas menengah. Bila sedang musim asparagus, sayur satu ini sangat mudah dijumpai di Jerman. Dijajakan di di semua toko bahan makanan dan pasar swalayan. Saking populernya asparagus, para petani di Jerman dan di negara-negara lain di Eropa, juga di Amerika Selatan, tak pernah kekurangan pembeli.

“Dahulu asparagus merupakan makanan istimewa yang mahal untuk orang kaya, tetapi kini harganya terjangkau oleh kalangan luas. Asparagus dipandang sebagai makanan vegetarian yang sehat dan kaya serat, dan dengan demikian sejalan dengan tren kesadaran gizi,” ujar anthropolog Wulf Schiefenhovel.

Di Papua, terdapat sejenis asparagus, Bahkan menurut Schiefenhovel, rasanya lebih lezat, “Warga Papua menyebutnya sayur lilin. Jika daun pembungkusnya dibuang, bentuknya memang menyerupai lilin panjang yang meruncing. Dalam bahasa Tok Pisin, salah satu bahasa pengantar di Papua Nugini, namanya pitpit,” ujarnya.

Wulf Schiefenhovel pernah datang di Papua. Ia melakukan penelitian penelitian lapangan di Indonesia, antara lain dalam rangka proyek “Man, Culture and Environment in the Central Highlands of Irian Jaya, Indonesia” (1973-1980) yang didukung oleh Deutsche Forschungsgemeinschaft (DFG).

Menurut Schiefenhovel, nama ilmiah sayur lilin adalah Saccharum edule, atau sejenis tebu yang dapat langsung dimakan. Besar kemungkinan leluhur orang Papua mengembangbiakkan tumbuhan itu dari tumbuhan pendahulunya.  Menurut Schiefenhovel, diperkirakan orang-orang Papua mulai membudidayakan sayur lilin sekitar 8.000 tahun silam.

Tak hanya asparagus, para leluhur orang Papua yang menghuni dataran tinggi telah mendomestikasi tanaman pangan lain yang juga penting pada skala dunia, yaitu talas (Colocasia esculenta dan spesies-spesies lainnya). Baru lama setelah itu ubi jalar (Ipomoea batatas), sumber karbohidrat terpenting bagi para penduduk kawasan Melanesia, tiba dari Amerika Tengah dan dari bagian utara Amerika Selatan. 

Sejak zaman prasejarah ubi jalar menjadi makanan pokok. Umbi-umbian tersebut hingga kini menjadi makanan yang dihidangkan kepada tamu dan digunakan untuk keperluan upacara, salah satunya bakar batu.

“Jadi, angkat topi untuk orang Papua; leluhur mereka berhasil beralih dari kegiatan berburu, mengumpulkan makanan dan menangkap ikan ke cocok tanam (hortikultura) sesuai kebiasaan setempat ketika di Eropa belum ada pembudidayaan tanaman pangan seperti itu,” ujar Schiefenhovel.

 “Sayur lilin” sampai sekarang tetap ditanam di kebun-kebun di Papua dan sementara ini sudah tersedia di semua pasar setempat. Beberapa tanaman diikat menjadi satu, lalu dijual oleh kaum perempuan dengan harga yang baik. Dari segi bentuk, tanaman itu sulit dibedakan dari tanaman tebu yang juga dibudidayakan di kebun-kebun, dan segera terlihat bahwa kedua spesies itu berkerabat dekat.

Namun berlainan dengan tebu, bukan batangnya yang dimakan, melainkan bakal bunga yang belum mekar (inflorens), dengan wujud botanisnya yang mengesankan masih tersembunyi di balik daun pembungkus.

Suku Eipo di Pegunungan Bintang, yaitu sebagian dari pegunungan tengah Papua yang memiliki ketinggian hingga 5.000 m dan dahulu masih terisolasi, terkenal karena menanam berbagai varietas (kultivar) spesies sayur itu di kebun-kebun mereka di lereng utara pegunungan besar tersebut.

Oleh mereka, sayur itu dinamakan bace, yang digunakan sebagai alat barter digunakan sebagai alat barter. Anak-anak pun sudah mengerti cara membedakan aneka jenis yang ada, "Ini sesuatu yang menakjubkan, mengingat bagi kami berbagai kultivar itu sangat mirip satu sama lainnya," kata Schiefenhovel.

Panas itu cukup untuk mematangkan bakal bunga yang berair, dan aroma asap menambah kelezatannya. Sayur tersebut juga dapat diolah dengan beragam cara lain, misalnya sebagai selada, sebagai bagian hidangan campuran, direbus, dipanggang – hasilnya selalu sesuatu yang spesial. Sesungguhnya cukup mengherankan bahwa belum ada orang yang berusaha mengekspor sayur yang istimewa ini ke negara-negara lain.

Menurut arkeolog Hari Suroto, berdasarkan konsentrasi dari berbagai jenis tebu di Papua, Papua Nugini dan pulau-pulau Pasifik selatan, diketahui bahwa tebu adalah jenis tumbuhan yang berasal dari Nugini dan pulau-pulau di Pasifik selatan. Tebu ada yang ditanam dan ada yang tumbuh liar, dan merupakan tumbuhan yang sangat penting.

Di antara keenam jenis tebu yang ada di dunia, tiga jenis tumbuh liar di Nugini, yaitu Saccharum Officinarum L., Saccharum Spotaneum L., Saccharum  Robustus Brandes Jeswiet. Ketiga jenis tebu ini tumbuh di Nugini dengan berbagai varietasnya, sedang daerah persebaran Saccharum Robustus hanya di Nugini dan pulau-pulau Pasifik selatan hingga New Hebrides.

Berbagai varietas tebu itu sangat penting dalam kehidupan penduduk Nugini. Saccharum Officinarum yang banyak mengandung gula dan memiliki serat-serat yang sangat lembut digemari orang Nugini untuk dikunyah, “Berbagai varietas lainnya dipakai sebagai bumbu dan obat, sedang jenis Saccharum Robustus yang tidak banyak mengandung gula, mempunyai serat-serat yang keras,” ujar Hari Suroto.

Editor: Ludhy Cahyana

Sumber; Mengenal Sayur Lilin, yang Ditanam Orang Papua 8.000 Tahun Lalu

0 Response to "Mengenal Sayur Lilin, yang Ditanam Orang Papua 8.000 Tahun Lalu"

Posting Komentar

Buletin Gantrocen

Buletin Gantrocen di kerjakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Antropologi Universitas Cenderawasih.

Pelindung; Universitas Cenderawasih, Jurusan Antropogi.

Profil Uncen 2019

Grup Membaca di Para Para

Grup Membaca di Para Para
Senangnya membaca "Obahorok" (Umar Kayam,1979) bersama teman-teman. Photo: Hengky Yeimo @071015

Inisiasi Antro 2015

Inisiasi Antro 2015

Jurnal Antropologi Uncen

Total Tayangan Halaman

Anggota