Atafia (kiri) dan Mince (kanan) yang telah siap melanjutkan perjalanan menelusuri hutan adat milik marga Momo Kaa. Foto: Een Irawan Putra |
Oleh; Een Irawan Putra*
Kaki-kaki lincah Mince Momo (40 tahun) dan Atafia Momo (22) menjejak masuk jauh ke dalam hutan. Berbekal keranjang anyaman buatan lokal yang tergantung di kepala, tak ada rasa takut saat menjelajah belantara. Bagi mereka hutan sudah seperti rumah kedua, tempat mengoleksi berbagai kebutuhan harian.
Mulai dari mencari sagu, berburu, memancing ikan, dan mencari aneka sayuran hingga tumbuh-tumbuhan obat untuk menyembuhkan berbagai penyakit dapat dijumpai di dalam hutan adat marga Momo Kaa. Sehingga tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak menjaga hutan.
Mince memiliki tiga orang anak, sedang Atafia 2 anak yang semuanya saat ini masih balita. Mereka tinggal di Kampung Ayapokiar, Distrik Miyah, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat di salah satu dari 19 unit rumah bantuan pemerintah.
Menuju kampung tempat tinggal mereka lumayan jauh. Diperlukan perjalanan darat sekitar 6 jam dari Kota Manokwari, atau 8 jam dari Kota Sorong.
***
Awal pertemuan saya dengan Mince dan Atafia berlangsung tak sengaja. Kami berada di Ayapokiar (29/7), bersama 12 mahasiswa Universitas Papua yang turut dalam tim survei aves pimpinan pakar burung veteran Sebastian “Bas” van Balen, dan tim herpetofauna yang dikomandoi Mirza Kusrini dari Fakultas Kehutanan IPB.
Saat mencari pendamping untuk masuk hutan, Agustinus Momo (35), adik dari Mince bertanya apakah saya keberatan jika porter yang mengangkut barang adalah perempuan. “Disini yang lebih enak diajak kerja perempuan,” tuturnya.
Kaum perempuan katanya lebih aktif dan rajin. Apa saja mereka kerjakan untuk bertahan hidup dan membesarkan anak, termasuk terlibat membangun rumah. Bahkan sedia bekerja di proyek sebagai buruh angkut pasir pun tak sungkan mereka lakukan.
Atafia contohnya. Sudah tiga tahun ini dia bekerja membanting tulang. Suaminya melanjutkan kuliah di sebuah universitas di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, atas beasiswa dari Pemda Sorong. Karena dana beasiswa bulanan kadang tidak mencukupi, dia pun kerap mengirim uang ke suaminya. Dia pun bekerja untuk hidup keluarganya.
“Jumlahnya memang tidak tentu, seberapa dapat uang dari hasil kerja atapun jual sayur dan ayam. Kadang Rp500 ribu, kadang Rp1 juta per bulan. Itu pun jika saya sempat ke Sorong. Transport dari kampung ke Sorong sekali jalan Rp 500 ribu,” katanya.
***
Selama melakukan pendataan di lapangan, Mince dan Atafia sangat aktif dan gesit. Bagi mereka, jalur berbukit curam berbatu yang ditempuh dengan jalan kaki lima jam bukan masalah.
Sambil berjalan, Mince bahkan banyak tahu nama lokal burung-burung yang ditemukan, juga bagaimana perilaku dari burung-burung tersebut.
Menjelang senja saat tiba di lokasi camp pertama, Mince dan Atafia pamit untuk pergi memancing di sungai yang jaraknya sekitar 1 km dari camp. Sungai Iri namanya. Meski tampak tak jauh, kecuramannya sampai 70 derajat hingga sampai di bibir sungai. Cukup membuat orang tergagah pun berdegup kencang jantungnya.
Memang tak hanya berlaku sebagai porter, Mince dan Atafia juga bertugas mempersiapkan kebutuhan makan tim selama menginap tiga hari dua malam di dalam hutan.
Di tengah hujan deras, malam itu Mince dan Atafia kembali ke tenda. Di tangannya sudah terdapat hasil pancingan beberapa ekor ikan sembilang. Mereka tersusun pada seutas akar pohon. Juga dibawanya berbagai sayur seperti pakis, gohi dan genemon.
“Ikan ini banyak sekali di sungai. Jika masuk hutan pasti kami bawa pancing. Umpannya cacing yang ada di dalam palem-paleman, atau pohon-pohon yang sudah lapuk,” ujar Atafia.
Sambil merapikan bawah tenda, dia menceritakan berbagai isi hutan, termasuk pengalaman dan cara mereka mendapatkan banyak sumber makanan, termasuk saat berburu.
“Saya pernah pergi ke hutan bawa anjing. Anjing bantu kejar rusa, lalu saya tikam rusa dengan tombak.” Hari itu, katanya dia dapat dua rusa.
Karena tubuh rusa besar dan berat, ia mengeluarkan isi perut rusa, memotong dagingnya menjadi beberapa bagian sebelum dibawa pulang. Daging rusa lalu diasapi di atas api, agar lebih tahan lama dan bisa disimpan.
“Kami tidak jual daging rusa, buat makan sendiri. Karena di sini kemana-mana jauh.”
Ketika kami tanyakan apakah selama tinggal di sini pernah terjadi kasus kelaparan, Mince dan Atafia, keduanya kompak menjawab tidak pernah. “Di sini tinggal masuk hutan bisa ambil sagu, sayur, ikan, babi atau rusa. Di kampung, kami juga tanam talas, ubi dan cabai. Tak pernah ada kelaparan.”
***
Dalam sebuah pemaparan, Bupati Tambrauw Gabriel Asem pernah menyampaikan bahwa dari sekitar 1,1 juta hektar wilayah Kabupaten Tambrauw, sekitar 80 persen atau 800 ribu hektarnya adalah kawasan hutan cagar alam. Dua wilayah konservasi itu adalah, CA Pegunungan Tambrauw Utara dan CA Pegunungan Tambrauw Selatan.
“Total ada 29 distrik dan 216 kampung di Tambrauw. Kami buat aturan untuk lindungi hutan, pantai dan lainnya. Semua harus kolaborasi dengan masyarakat pemilik ulayat. Karena mereka yang punya hak wilayah,” jelas Gabriel saat berjumpa pada bulan Juli lalu.
Arah pembangunan Kabupaten Tambrauw yang berdiri sejak 2008, menurutnya sudah jelas. Yaitu, menjadi kabupaten konservasi yang tetap menjaga hak-hak dasar masyarakat.
Menurut Gabriel, tak ada hambatan dalam merancang Tambrauw menjadi kabupaten konservasi. Meski awalnya kerap dikritisi, karena bakal menciptakan kantung-kantung kemiskinan dan menjadi daerah tertinggal. Menurutnya persepsi itu salah.
Jika hutan terjaga secara baik, dalam jangka panjang Tambrauw bakal punya nilai tersendiri, yang tak ada di tempat lain. Jelasnya, lokasi tersebut bisa dikemas untuk kaum wisatawan yang berkunjung. Karena Tambrauw kaya aset wisata alam seperti pantai dan pegunungan yang masih asli dan terpelihara secara baik.
“Dari situ masyarakat bisa mendapat manfaat, karena masyarakat terlibat langsung. Ke depan itu akan jadi sumber-sumber pendapatan.”
Rasanya harapan Gabriel tak meleset. Seperti yang diungkap oleh Atafia saat mengantarkan kami masuk ke dalam hutan.
“Kami sangat senang dapat antarkan tamu untuk lihat hutan. Mereka bisa lihat bagaimana kami lindungi hutan secara baik untuk anak, cucu, hingga cece kami,” tutupnya.
* Een Irawan Putra, penulis adalah Direktur Indonesia Nature Film Society (INFIS), praktisi dokumentasi audio visual, sering beraktivitas di alam bebas.
Sumber; Dua Perempuan, Menjaga Pegunungan Tambrauw
0 Response to "Dua Perempuan, Menjaga Pegunungan Tambrauw"
Posting Komentar